HukumNikah. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa, secara syariat, hukum nikah bisa berbeda-beda sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Berdasar penjelasan Sa‘id Musthafa Al-Khin dan Musthafa Al-Bugha dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzhabil Imamis Syâfi’i, hukum nikah adalah sebagai berikut: 1. Sunah. SedangkanSufi seorang yang mengerti dan mengamalkan ilmu Tasawuf. Kaum sufi akrab dengan berbagai ritual keagamaan seperti wirid, do’a dan i’tikaf untuk melakukan ritual ini kaum sufi ada yang melakukannya dengan cara Uzlah (Mengasingkan diri), Muraqabah (Kontemplasi penuh dengan kewaspadaan), Muhasabah (pemeriksaan atau ujian terhadap diri). HakikatTaqwa Alhamdulillah, ketika shalat jum'at tadi siang, 18 Mei 2012, di Masjid at-Taqwa Bintaro Permai, saya sempat mencatat kutipan dari yang disampaikan oleh Khotib Jum'at. Sayapun mencoba untuk mencari-cari kutipan-kutipan yang disampaikan oleh khotib, yaitu mengenai Taqwa menurut pendapat Ali bin Abi Thalib ra . Seemore of Cermin Sufi on Facebook. Log In. Forgot account? tempattempat mulia.Menurut Syekh Namuddin al-Kubra dalam kitab Jami’ul Auliya menandaskan, syari’at itu uraian, tarekat adalah pelaksanaan, hakekat merupakan keadaan, dan ma’rifat itu tujuan pokok.4 Dari beberapa penjelasan tentang definisi tarekat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa tarekat kg5P1. Orang yang bertaqwa ialah orang yang kesholehan pribadinya mampu untuk melahirkan kesholehan sosial. Inilah sikap yang menyebabkan sebuah peradaban pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terbangun saat usianya masih sangat hanya dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun keadilan mampu ditegakkan, kemaksiatan terkarantina, kesenjangan sosial dapat tersingkirkan, kekufuran terkubur dan keharmonisan terbangun. Sehingga setan pun putus asa untuk kembali eksis di baitullah, setan berputus asa untuk mengajak manusia menyembah berhala di hadapan ka’ pada saat zaman Umar bin Abdul Azis, hanya dalam kurun waktu 2,6 tahun mampu meraplikasi ketaqwaan sahabat-sahabat senior pada masa kekuasaannya. Sehingga, beliau diberi gelar sebagai khalifah ke-5. Begitulah esensi taqwa yang meresap ke dalam jiwa.“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” QS. al-Baqarah 183Ayat ini merupakan ayat yang menjadi dalil tentang kewajiban bagi orang yang beriman untuk melaksanakan puasa yaitu puasa yang dapat melahirkan karakter taqwa, output nya ialah sebuah sikap taqwa dalam pribadi-pribadi kaum muslimin yang teraplikasikan dalam kehidupan nyata, bukan angan-angan, bukan sekedar teori, bukan sekedar hiasan grand design yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan untuk kita berpuasa di dalamnya, inilah hasil akhir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan ibadah puasa sebagai perangkatnya, yaitu bagi kita yang benar dalam menjalankan kita menjadi manusia yang bertaqwa, manusia yang terbimbing dengan sentuhan ilahiyah, manusia yang terbimbing dengan sentuhan tarbiyah Rabbaniyah, sehingga terpancar dari kita sikap taat terhadap perintah-Nya, sehingga terpancar dari kita akhlak mulia dari pergaulan keseharian, terpancar dari kita kesibukan yang dapat membersihkan hati dan menata diri dari hal-hal yang tidak di ridhoi oleh Allah Ta’ Al-Qur’an kita sama dengan yang ada pada mereka? Bukankah hadits-hadits yang menjadi sandaran kita sama dengan hadits yang mereka terima? Jika kita tak mengingkari bahwa kedua sumber pedoman itu sama dengan apa yang mereka jadikan apa yang menjadi masalah hingga output nya berbeda begitu jauh sekali. Esensi dari makna taqwa inilah yang perlu kita benahi jika kita menginginkan output yang sama dengan apa yang diraih oleh generasi terbaik ummat ini, generasi sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa yang bertaqwa bukanlah mereka yang sibuk dengan tampilan luar namun lupa bagian dalamnya, mereka yang sibuk memperbaiki bagian luar namun lupa memperbaiki bagian yang hanya sibuk memperbaiki ibadah-ibadah mahdahnya namun melupakan hubungannya kepada sesama manusia, mereka benci pada persatuan dan gemar memecah belah ummat, orang-orang yang suka mencela dan menghina orang lain, serta orang-orang yang merasa lebih dan lebih berilmu dari orang artinya kita berpuasa namun tidak melahirkan sikap taqwa dalam jiwa, kita Qiyamul Lail jika hanya melahirkan sikap sombong, kita tilawah Al-Qur’an namun lisan ini tidak terjaga, kita bersedekah jika disertai dengan merendahkan orang lain, kita berzakat namun selimut kedengkian tidak mampu kita singkirkan, kita mengkaji Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam jika hanya melahirkan kesibukan pada kesalahan orang lain, dan kita menghabiskan waktu pada majelis ilmu jika hanya melahirkan sikap mendikte amal-amal yang dikerjakan orang kebaikan dari amal-amal sholeh itu tidak akan mampu menyelamatkan kita dari siksa api neraka jika kita tidak menghiraukan hati yang berkarat ini, jika hati kita tidak selamat di bulan yang mulia, jika hati kita terbalut dengan kedengkian-kedengkian terhadap orang lain, jika hati kita dipenuhi kebencian terhadap sesama muslim, jika hati kita terbungkus dengan kesombongan, dan jika hati-hati kita tunduk pada perintah Tuhan yang bernama hawa celakalah orang-orang yang tidak mendapatkan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dibulan yang agung ini. Bukankah Allah SWT berfirman“Yaitu hari di mana tidak berguna lagi harta dan anak-anak mereka kecuali mereka yang datang menemui Allah dengan hati yang selamat selamat dari kesyirikan dan kotoran-kotorannya.” QS. Asy Syu’ara 88-89Inilah makna taqwa yang harus kita benahi, inilah karakter orang yang bertaqwa, yaitu orang yang berusaha keras melatih diri untuk membersihkan dan menyucikan jiwanya dari kesyirikan dan kotoran-kotoran yang berada pada dinding-dinding hatinya. Inilah esensi ketaqwaan yang Allah Ta’ala mengajarkannya kepada kita, begitulah Allah menjelaskannya kepada kita dan begitulah hakikat dari taqwa yang Allah maksudkan pada kita, yaitu hati yang bersih dari berbagai macam kesyirikan dan kotoran-kotoran yang melekat pada dinding hati.

hakikat taqwa menurut sufi